Nilai-nilai budaya Bali
Nama Bali begitu dikenal tidak hanya di dalam negeri kita, juga hingga ke manca negara. Kebudayaan Bali yang tinggi dan syarat dengan beraneka macam seni telah menarik minat wisatawan domestik maupun dari luar negeri.
Kita sebagai pewaris kebudayaan Bali yang merupakan maha karya dari para leluhur kita sudahkah mengenal nilai-nilai luhur budaya Bali, sudahkan kita mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata?, sudahkan kita memanfaatkan nilai-nilai ini untuk meraih target hidup kita?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas marilah kita mulat sarira/introspeksi diri kita masing-masing, untuk memudahkan mengenal lebih dalam tentang nilai-nilai luhur budaya Bali, kami tampilkan karya Bapak Made Titib sebagai berikut:
NILAI-NILAI LUHUR BUDAYA BALI
IMPLEMENTASINYA DALAM TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
I Made Titib
Pendahuluan
Mengangkat nilai-nilai budaya Bali yang universal dalam kaitannya dengan Pola Ilmiah Pokok Kebudayaan sebagai Pola Ilmiah Pokok Universitas Udayana merupakan hal yang wajar, karena pulau Bali telah dikenal oleh masyarakat dunia sebagai salah satu tujuan wisatawan terbaik. Diperkenalkan dan dikajinya nilai-nilai budaya Bali yang universal kiranya akan dapat memberikan sumbangan dalam pembentukan insan akademik ilmuwan yang berbudaya dan budayawan yang ilmuwan. Nilai-nilai budaya tidak terlepas dengan pengaruh Agama Hindu terhadap kebudayaan Bali. Hal ini sejalan dengan wacana Agama Hindu sebagai jiwa kebudayaan Bali.Hubungan pulau Bali dengan dunia luar bukanlah hal yang baru. Tentang hubungan Bali dengan dunia luar, khususnya dengan India, Prof. Dr. I Wayan Ardika,MA (1997:62) menyatakan bahwa hubungan itu sudah dikenal sejak zaman prasejarah, yakni dengan ditemukannya fragmen gerabah India yang mungkin berasal dari awal abad Masehi atau sekitar 2.000 tahun yang lalu.
Berita tertua dari bangsa asing lainnya berasal dari orang-orang Cina. Di dalam kitab sejarah dinasti T’ang Kuna (buku 197, 2b, 618-908 Masehi), disebutkan antara lain bahwa Ho-ling terletak di kepulauan di lautan sebelah selatan. Di sebelah timurnya terletak P’o-li, yang menurut Pelliot P’o-li adalah Pulau Bali dan di sebelah baratnya adalah To-po-teng, di sebelah utara adalah Chen-la (Kamboja) dan di sebelah selatannya lautan. Di dalam sejarah dinasti T’ang Baru (buku 222.2, 3b) disebutkan bahwa Ho-ling
disebut juga Shë-p’o dan letaknya di sebelah selatan. Di sebelah timurnya P’o-li (Bali), di sebelah baratnya To-p’o-tëng (Sumatra). Di selatannya lautan, sedangkan di sebelah utaranya Chën-la (Kamboja) perjalanan ke P’o-li dari Canton menempuh waktu kira-kira dua bulan. Di dalam kitab Chu-fan-chih bagian Suchi-tan, Bali disebut dengan nama Ma-li (Sartono, 1976:133-134).
Demikian pula keterangan tentang kemuliaan Gunung Agung, yang di Bali disebut juga To Langkir (yang menjulang tinggi) atau di dalam bahasa Sanskerta disebut Udaya Parvata (gunung yang tinggi) diyakini sebagai bagian dari Pegunungan Mahàmeru (yang pada zaman dahulu juga disebut Úiúira Parvata). Nama Udaya Parvata ini sudah diungkapkan di dalam susastra Sanskerta Ràmàyaóa, pada bagian Kiûkióðha Kàóða, karya agung àdikavi Mahàrûi Vàlmìki, sebagai sthana para Dewa (Misra, 1989:VI). Hubungan antara India dengan Bali diungkapkan pula oleh Sarkar (Phalgunadi, 1991:33) termuat dalam kitab Båhatsaýhità dan Kathàsaritsàgara yang membuktikan sudah adanya kontak antara Bali dengan India dalam bidang perdagangan dan agama. Kedua buku di atas menyebutkan nama Bali sebagai Nàrikeladvìpa. Menurut Damais yang dimaksud dengan Bhùmi Nàrikela adalah Pulau Bali yang menurut anggapannya dapat dibuktikan dari sejumlah prasasti yang ditemukan di pulau ini. Banyak prasasti Bali yang menyebutkan Bali sebagai pulau kelapa. Prasasti Poh (tahun 905 Masehi) menyebutkan “vanua ri rùmakûan riò nyù” yang berarti pulau kelapa. Menurut Weber (1974:202, 213) Båhatsaýhità ditulis oleh Varamihira pada abad ke-5 atau ke-6 Masehi dan Kathàsaritsàgara ditulis oleh Somadeva pada abad ke-11 Masehi.
Tidak dapat dihindari bahwa pengaruh Agama Hindu dan budaya India di Bali demikian besarnya, hal ini dibuktikan dari berbagai peninggalan purbakala seperti diungkapkan oleh Swellengrebel (1960:17), yaitu: sumber utamanya adalah prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh para raja yang banyak jumlahnya baik yang tertulis pada batu maupun pada logam (tembaga). Prasasti-prasasti itu menceritakan para raja yang memerintah dan para menterinya, hubungannya dengan administrasi pemerintahan pusat dan orang-orang di desa-desa, peraturan di bidang keagamaan, aturan yang berhubungan dengan pengairan, perpajakan, dan sebagainya. Sumber lainnya adalah peninggalan purbakala, arca-arca dan artifak-artifak. Berdasarkan ungkapan Swellengrebel di atas maka kehidupan keagamaan dapat dikaji melalui sumber-sumber tersebut di atas. Di samping itu adalah sumber-sumber teks berupa berbagai manuskrip (lontar) yang cukup banyak jumlahnya. Nilai-nilai atau ajaran Agama Hindu yang tertulis itu terekspresi dalam pola pikir, perilaku individu dan sosial, dan juga dalam bentuk material seperti pura dengan beraneka bangunan suci di dalamnya, tata letak rumah, desa pakraman dan sebagainya.
Di samping nilai budaya Bali itu bersumber pada ajaran Agama Hindu, juga disebabkan oleh kristalisasi nilai-nilai yang telah ada sebelumnya, atau juga karena pengaruh globalisasi, terjadi penyerapan nilai-nilai budaya global.
108 Butir Nilai Budaya Bali
Seperti telah disebutkan di atas, nilai-nilai atau ajaran agama Hindu terekspresi dan menjadi nilai-nilai budaya Bali. Sesuai dengan harapan penyelenggara lokakarya ini, diketengahkan beberapa butir nilai budaya Bali sebagai berikut:
1. Satya (kebenaran)
2. Udàratà (kedermawanan)
3. Úubhasaýkalpa (hasrat luhur)
4. Nirbhayata (keberanian)
5. Svavalambana (percaya diri)
6. Yajña (pengorbanan)
7. Viúvaprema (kasih sayang universal)
8. Nirlobha/Aparigraha (tidak rakus)
9. Ìrûyà (iri hati)
10. Sàmàjika Saògathana (organisasi sosial)
11. Mukti (Mokûa/penyelamatan spiritual)
12. Svasti Vacana (aspirasi-aspirasi luhur)
13. Úànti (damai)
14. Ahiýúa (tanpa kekerasan/tidak anarkis)
15. Bhadram (keutamaan/kemuliaan)
16. Vicakûana (kebijaksanaan)
17. Tapa (pengendalian diri)
18. Niûkàmakarma (tidak mementingkan diri sendiri)
19. Daivisampat (sifat ketuhanan/sifat yang luhur)
20. Samànaá/Ekatva/Advaita/Kalih Samaika/Bhineka Tunggal Ika (persatuan/kesatuan)
21. Lokasaýgraha (kesejahteraan bersama)
22. Samani (solidaritas/kebersamaan)
23. Vaúudhaivakutumbhakam (semua makhluk bersaudara)
24. Maduravacana (ucapan yang baik dan ramah)
25. Prayaúcitta (kesucian hati)
26. Sevaka (pelayanan sosial)
27. Akrodha (mengendalikan emosi)
28. Guruúuúrusa (taat kepada guru)
29. Úauca (suci/jernih pikirannya)
30. Àhàralaghava (mengendalikan diri dalam menikmati makanan)
31. Apramadha (tidak lalai)
32. Brahmacari (tekun belajar)
33. Avyavaharika (tidak suka bertengkar)
34. Astainya (tidak mengambil milik orang lain/mencuri)
35. Vairàgya (tidak mengikuti dorongan nafsu)
36. Tyàga/Lascarya (tulus ikhlas)
37. Santosa (puas/mensyukuri karunia Tuhan YME)
38. Tapa (pengendalian diri)
39. Svàdhyàya (belajar)
40. Ìúvaraprànidhana (mendekatkan diri kepada Tuhan YME)
41. Kayika Pariúuddha (perbuatan yang dipandang baik, yaitu: tidak membunuh, mencuri, dan tidak berzina)
42. Vacika Pariúuddha (perkataan yang dipandang baik, yaitu: tidak jahat atau munafik, tidak kasar, tidak memfitnah dan tidak berdusta)
43. Manacika Pariúuddha (pikiran yang dipandang baik, yaitu: tidak menginginkan milik orang lain, kasih dan sayang kepada semua makhluk, dan beriman kepada ajaran karmaphala)
44. Arjawa (jujur)
45. Anåsaýsya (tidak memenntingkan diri sendiri)
46. Arimbhava (bersimpati kepada penderitaan orang lain)
47. Indriyanigraha (mengendalikan indria)
48. Dama (bisa menasehati diri sendiri0
49. Dharaka, Sthitaprajña (tahan uji dalam menghadapi berbagai tantangan, stabil dalam suka dan duka)
50. Hrìh/Jengah (memiliki rasa malu)
51. Sadhusaýsarga (bergaul dengan orang-orang baik)
52. Satyavacana (menepati janji)
53. Satyamitra/Tindih (solidaritas kepada teman)
54. Satyasamaya (tepat waktu)
55. Kûama (pemaaf)
56. Prìti (simpati, sangat welas asih)
57. Prasàda (berpikiran jernih)
58. Madurya (manis pandangannya)
59. Màrdava (berhati lembut)
60. Dàna (memberikan derma/berderma)
61. Ijya (senantiasa memuja Tuhan YME dan leluhur)
62. Dhyàna (kontemplasi)
63. Upasthanigraha (pengendalian dorongan seks)
64. Brata (melakukan pantangan tertentu)
65. Mauna/Mona (mengendalikan wicara)
66. Snana (menyucikan diri dengan sembahyang rutin)
67. Dharma (taat menjalankan ajaran agama)
68. Vimatsaritva (tidak dengki/irihati)
69. Tìtìkûa (memiliki ketekunan dan kesabaran hati)
70. Anasùyà (tidak berbuat dosa)
71. Dhåti (hatinya tenang)
72. Andrayuda (menguasai ajaran agama, pengetahuan lainnya dan bijaksana)
73. Gunabhikûana (jujur dan mampu mengatasi berbagai kesukaran)
74. Sadhuniragraha (tidak menyakiti makhluk lain)
75. Vidagdaprasana (tidak mudah dihasut/dipropokasi)
76. Kåtarajahita (tidak segan meminta maaf bila melakukan kesalahan)
77. Tyagaprasana (tidak mengenal lelah bila melaksanakan tugas)
78. Suraraksana (tidak mengenal rasa takut/tidak khawatir)
79. Surapratyana (segan dan hormat kepada atasan/senioritas)
80. Úànta (satunya kata dengan perbuatan)
81. Sanmatà (selalu ingin berbuat baik)
82. Karuna (cinta kasih terhadap semua makhluk)
83. Upeksa (mawas diri)
84. Mudìtà (tutur katanya simpati)
85. Maitri (memiliki kasih sayang/bersahabat kepada semua makhluk)
86. Satyam nasti paro dharma (kebenaran adalah dharma tertinggi)
87. Ahiýúa paramo dharmah (tidak menyakiti hati sesama makhluk hidup merupakan dharma tertinggi)
88. Tat tvam asi (memandang setiap makhluk seperti diri sendiri)
89. Trihita Karana (tiga hal yang menyebabkan sejahtera, hubungan harmoni dengan Tuhan YME, dengan sesama makhluk, dan dengan alam lingkungan/sekitar)
90. Rvabhineda (dua hal yang berbeda, baik-buruk, salah-benar dan lain-lain)
91. Sagari-giri-adomukha (keindahan yang mengandung daya magnetis bila di tepi pantai terlihat gunung dan pegunungan yang indah, dan bila berada di pegunungan, kelihatan pantai dan lautan yang indah)
92. Satyam-Úivam-Sundaram (kebenaran-keharmonisan-keindahan)
93. Parasparosarpanaya (salunglung-sabhayanta) (wirang) (beriuksaguluk) (bersatu padu) (solidaritas, seia sekata, senasib sepenanggungan)
94. Dakûinà (kemurahan hati),
95. Asevakadharma (mendahulukan kebajikan)
96. Úànta-jagadhita (damai dan sejahtera)
97. Trimandala (uttama, madhyama, kaniûþama, hulu, madia, teben)(di atas, di tengah-tengah, di bawah)
98. Bhoga, Upabhoga, Paribhoga (pangan, sandang, papan)
99. Asih-Puóya-Bhakti (cinta kasih, jasa dan penghormatan)
100. Sadhugunavan (berbudipekerti luhur dan memiliki kemampuan)
101. Agawe sukhaning praja (sukhaning ràt kininkinira)(senantiasa membangun kesejahteraan masyarakat)
102. Deúa-Kàla-Patra (tempat-waktu-keadaan)
103. Deúa amawacara nàgara amawa tata (desa punya aturan, negara punya hukum yang mengatur segalanya)
104. Nityasa angulih sutreptining nàgantu (senantiasa mewujudkan ketentraman dan ketertiban masyarakat)
105. Pràjarakûaka (mewujudkan ketentraman masyarakat)
106. Ksayanikang papa nahan prayojana (lenyapnya penderitaan masyarakat menjadi tujuan hidupnya)
107. Sakatilinganingambek, nyata katresnan yata katemu (sesuatu yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh, pasti akan berhasil dicapai)
108. Haywa ngkàla kûepa (tidak membuang kesempatan/waktu)
Dari 108 butir nilai budaya Bali di atas, tampaknya terkesan hal tersebut adalah ajaran merupakan ajaran agama Hindu murni. Namun bila ditinggalkan atau tidak menggunakan bahasa Sanskerta, bahasa Jawa Kuno atau bahasa Bali dan diperhatikan terjemahannya dalam bahasa Indonesianya, maka nilai-nilai budaya di atas tampak benar-benar universal, karena tidak dibatasi oleh nilai-nilai lokal. Butir-butir nilai budaya lainnya adalah Dàna (sedekah), Akûa/Nìta (menghindari judian), Svastipanthàm (jalan kemuliaan), Saýjñàóam (keharmonisan), Jàgàra (kewaspadaan), Dakûa (kesucian hati), Kìrti (kemuliaan), Yaúa (jasa baik), Úriyaá (keramahan), Maitra (persaudaraan), Svadharma (tugas dan kewajiban), Varma/Vìram/Nirbhayata (keberanian), Varna (profesi), Àúram (tahapan hidup), Prajña (kecerdasan), Yoga (kesatuan dengan Yang Maha Esa), Bhakti (kebaktian), dan lain-lain yang tentunya masih banyak belum diungkapkan (Dvivedi, 1990:VII).
Implementasinya dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi
Butir-butir nilai budaya Bali yang jumlahnya sebanyak 108 di atas, sebagian besar tampak dalam pola pikir, sebagian lainnya pola prilaku (sosial) dan sebagian kecil tampak kaitannya dengan alam kebendaan. Bagaimana mengimplementasikannya dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi? Jawabannya adalah dengan mulai menanamkan sikap mental positif (SMP) kepada segenap civitas akademika, menumbuhkembangkan keinginan belajar dan belajar serta semua aspek dan proses belajar mengajar, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat diarahkan untuk membangun kesejahteraan masyarakat. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian hasil Belajar Mahasiswa.
Penutup
Demikian butir-butir nilai budaya Bali yang kiranya dapat memperluas wawasan dalam Pedoman Implementasi Pola Ilmiah Pokok Kebudayaan Universitas Udayana Denpasar. Semoga bermanfaat.
Daftar Pustaka
Ardika, I Wayan. 1997. “Bali Dalam Sentuhan Budaya Global Awal Abad Masehi” dalam Dinamika Kebudayaan Bali. Editor I Wayan Ardika dan I Made Sutaba. Denpasar: Upada Sastra.
Ayodhya Prasad, Pandit. 1993. Gems of Vedic Wisdom. Calcuta: Kanak Lal Saha.
Devi, Sudarshana, 1957. Wåhaspatitattwa. New Delhi: International Academy of Indian Culture.
Artikel di blog ini menarik & bagus. Untuk lebih mempopulerkan artikel (berita/video/ foto) ini, Anda bisa mempromosikan di infoGue.com yang akan berguna bagi semua pembaca di tanah air. Telah tersedia plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam Blogger!
http://www.infogue.com
http://www.infogue.com/seni_budaya/nilai_nilai_budaya_bali/
infogue said this on April 22, 2008 pada 2:36 am |
Terimakasih telah berkunjung ke blog kami
Semoga karya kecil kami bisa bermanfaat bagi orang lain
guna meraih kemajuan dan kesuksesan dalam hidupnya..
Terimakasih atas promosinya
Salam
made m.
made24 said this on April 22, 2008 pada 7:39 am |
masalah indu dan budaya bali tak perlu diulas dan ditanggapi karena indu adalah ajaran suci yang sanatana dharma ( kebenaran abadi ) tak ada duanya hanya orang bijak menyebut banyak nama, segala yang ada tersurat didalamnya.
visma said this on Oktober 8, 2009 pada 9:39 am |
Om Swastyastu,
Kesucian dan Keluhuran ajaran Sanathana Dharma kalau tidak diulas dan ditanggapi dengan baik akan menimbulkan salah tafsir berikutnya salah aplikasi. Keutamaan Ajaran Sanathana Dharma akan bermakna bila diaplikasikan dengan baik. Aplikasi yang baik bisa terjadi setelah memiliki pemahaman yang baik, pemahaman yang baik dicapai dengan mengulas dan mendiskusikannya agar mutiara-mutiara dan intan permata didalamnya tersingkap…
Om Santhih Santhih Santhih Om.
made24 said this on Oktober 8, 2009 pada 10:10 am |
Om Swastiastu,
artikel ini baagus isinya perlu disebarluaskan di sekolah-sekolah agar menumbuhkan anak-anak yang tidak saja intelektualnya tetapi juga cerdas emosional spiritual dan menjunjung budayanya sendiri.
prama said this on Januari 25, 2010 pada 1:57 pm |
Om Swastyastu,
Inggih wantah sujati Pa De.. Semoga generasi muda kita bisa menarik manfaat dari warisan luhur para pendahulu.
Semoga teman-teman yang telah menemukan blog ini, dan menemukan satu manfaat seterusnya menyebarkan kepada yang lainnya, agar lebih banyak yang mendapatkan manfaat.
Santih Santih Santih
Made M
Abu Dhabi
made24 said this on Januari 30, 2010 pada 4:15 pm |
penuh inspirasi
jeni said this on Maret 15, 2011 pada 6:51 am
Terimakasih Jeni..
Semoga damai dan bahagian selalu..
made24 said this on Maret 17, 2011 pada 2:28 am
budaya bali yang adi luhung mesti kita jaga selamanya jangan sampai ada yang meninggalkannya karna ini adalah warisan nenek moyang kita untuk kita juga
sugata said this on Agustus 23, 2012 pada 4:17 am |
terimakasih pak Sugata atas kunjungan dan tanggapannya, betul sekali, kita telah mewarisi budaya adi luhung ini, kewajiban kita untuk mewariskannya kembali pada generasi muda kita, mari kita lestarikan…!
made24 said this on Agustus 24, 2012 pada 6:44 am |
saya masih bingung dg apa sebenarnya masalahnya.1. di BALI orang berkasta/tinggi harus (?) ngomong kasar sama kasta/rendah,begitu sebaliknya.Tapi di kraton YOGYASOLO,makin tinggi derajat orang ,semakin hati2/halus kalo ngomong dsb.2.pengalaman saya ngadiri wisuda anak saya ditanya sesama ortu yang ngadiri wisuda juga. Di pintu masuk ditanya begini:Bapak JABE nggih?.Kecuali kataJABE semuanya cukup halus. Saya mau tanya pada aparat Pemda adakah upaya2 mencontoh suku lain(Jawa misalnya) agar masalah ngomong kasar dan halus TIDAK DITENTUKAN OLEH TINGGI/RENDAHNYA KASTA/WARNA. iTULAHyg antara lain sebabnya dan tak pernah DIURUSI pemerintah/ahli budaya. MUDAH2 ANakan menjadi lebih baik
putu gelgel wisanatapa/69 th said this on September 24, 2012 pada 8:36 am |
Salam Sejahtera,
Pak Putu, bila kita lihat dalam sastra, Catur Varna itu diciptakan Tuhan; berdasarkan Bakat dan Kerja/Profesi yang digeluti
Bukankarena keturunan. Kalo ada yang berdasarkan Keturunan itu ciptaan Manusia. Karena manusia yang dalam bahasa Balinya disebut JELEME = jele/Jelek dan Melah/Baik itu bersamaan
Jadi sudah sangat wajar bila tidak sempurna, sangat dimengerti bila mereka ada yang berkata tidak sesuai dengan ajaran Dharma.
Banyak juga sebenarnya yang berkasta tinggi berkata-kata halus.Demikian pula orang Jawa, kebetulan saya pernah belajar di Jawa Tengah selama 2 tahun.
Menurut Guru saya, bila bertemu dengan orang-oang yang berkata, berprilaku yang tidak baik, gunakanlah dia sebagai Guru Simbolik untuk peningkatan diri kita.
Berikut Sloka Bhagavad Gita tentang Catur Varna (Brahmana = Berbakat dan berprofesi sebagai pembimbing ke jalan Dharma, Ksatria=yang berbakat dan berprofesi sebagai aparat pemerintah, Wesia= Berbakat dan berprofesi sebagai pelaku ekonomi/petani/pedagang/nelayan/, Sudra= yang berbakat dan berprofesi menjadi pembantu ketiga golongan sebelumnya seperti; kuli panggul, pembantu, dll).
Semoga kita semua mampu meneladani yang baik dan mengambil pelajaran yang bermakna dari keburukan
Salam
Made M.
“Catur varnyam maya shristam, Guna karma vibhagasah,Tasya kartaram api mam, Viddhy akartaram avyayam”.
Terjemahannya; “Catur Varna adalah ciptaan-Ku menurut pembagian Bakat dan Kerja, tetapi ketahuilah walaupun penciptanya Aku, Aku tidak berbuat dan merubah diri-Ku”.
made24 said this on September 28, 2012 pada 5:06 am |